Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sudah Sangat Bagus Ditengah Keridakpastian Global
Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Sudah Sangat Bagus Ditengah Keridakpastian Global |
Deputi III Kepala Staf Kepresidenan Denni Puspa Purbasari mengungkapkan hal tersebut saat menjadi pembicara dalam diskusi ‘Winning in A Turbulent Economy’ yang diselenggarakan oleh Katadata di Djakarta Theater, Jakarta, Rabu November 2o18.
“Berbicara tentang prospek ekonomi Indonesia 2019, referensinya adalah dokumen APBN, yang merupakan kesepakatan bersama antara pemerintah dan DPR, yakni 5,3%,” ujar doktor ekonomi lulusan University of Colorado at Boulder ini.
Menurut Denni, target pertumbuhan tersebut cukup konservatif dan telah menimbang faktor ketidakpastian global. Dampak dari proyek infrastruktur yang dibangun sejak awal periode pemerintahan Jokowi-JK diharapkan menjadi salah satu motor penggerak pertumbuhan tahun depan.
“Karena, ada studi mengatakan bahwa lag dari pembangunan infrastruktur dengan efeknya untuk mengungkit pertumbuhan ekonomi minimal tiga tahun,” jelas akademisi UGM ini.
Ketika dihadapkan dengan kondisi ketidakpastian global, mantan Asisten Staf Khusus Wakil Presiden Boediono ini menyampaikan tiga resep untuk mengatasinya.
Pertama, memperbaiki fundamental ekonomi untuk menopang pertumbuhan ekonomi. “Ini mencakup reformasi struktural seperti pembangunan infrastruktur, Ease of Doing Business, dan SDM,” ungkap Denni.
Kedua, menyiapkan bantalan bila terjadi shock atau krisis. Ruang fiskal dan cadangan harus cukup, BI memiliki cadangan devisa cukup dan bilateral swap arrangement dengan bank sentral negara lain, dan LPS memiliki dana.
Dan ketiga, menerapkan kebijakan makro dan keuangan yang hati-hati. Kementerian keuangan selaku otoritas fiskal memastikan APBN sehat, BI selaku otoritas moneter memastikan Rupiah dan inflasi terjaga, OJK memastikan bank dan lembaga keuangan sehat. “Crisis management protocol juga di-exercised secara reguler untuk latihan siapa melakukan apa seandainya terjadi krisis,” urainya.
Destry Damayanti, anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut, menambahkan, perang dagang (trade war) bukan hanya melahirkan tantangan tapi juga peluang. Salah satunya, peluang membuka pasar baru yang selama ini diisi oleh China.
“Indonesia punya peluang memasok barang-barang yang selama ini berasal dari China, seperti tekstil dan garmen,” kata Destry.
Sebelumnya, mantan wakil presiden Boediono menyebut, akibat perang dagang Amerika Serikat versus China, ada potensi perpindahan pabrik manufaktur dari China ke negara Asia lainnya, termasuk Indonesia.
Terlepas dari trade war, investor global, terutama institusi, juga masih punya hasrat tinggi untuk memutar uangnya di pasar modal Indonesia. “Investor asing, terutama institusi, masih melihat potensi besar Indonesia. Ini terlihat dari net buy asing di surat berharga negara masih positif. Appetite mereka masih sangat besar,” kata Poltak Hotradero, peneliti ekonomi senior di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Menurut Destry, Indonesia cukup diuntungkan karena ekonominya masih sangat berorientasi domestik, di mana konsumsi primer menopang 55% dari produk domestik bruto (PDB). Namun, impor bahan baku yang masih tinggi membuat defisit transaksi berjalan berpotensi melebar dan nilai tukar rupiah sensitif terhadap perubahan kondisi ekonomi global.
Sinergi pemerintah dan BI
Untuk menjinakkan gejolak rupiah dan memperbaiki defisit neraca berjalan, Kepala Danareksa Research Institute Damhuri Nasution berpendapat, pemerintah bersama-sama dengan Bank Indonesia (BI) telah melakukan kebijakan yang baik.
Dari sisi BI, Damhuri melihat, bank sentral ini tetap menjaga likuiditas dan kurs rupiah. “BI juga meluncurkan DNDF (domestic non delivery forward) yang sangat positif efeknya terhadap nilai tukar kita,” imbuh dia.
Sementara dari sisi pemerintah, kata Damhuri, ada beberapa kebijakan yang diharapkan bisa memperbaiki defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD). Sebut saja, kebijakan B20 yang mewajibkan campuran 20% biodiesel, yang diharapkan bisa mengurangi impor solar. Pemerintah juga menunda sejumlah proyek listrik dan mengeluarkan daftar pengenaan pajak terhadap barang konsumsi yang diimpor.
No comments